🦇 Kata Bijak Ki Ageng Suryomentaram

PsikologiSuryomentaram. Penulis : Afthonul Afif. Penerbit: IRCiSoD. Cetakan : 2020. Halaman : 238 hlm. Ukuran : 14 x 20 cm. "Kehidupan bahagia sejati adalah kebahagiaan yang tidak lagi terikat oleh tempat, waktu dan keadaaan (mboten gumantung papan, wekdal lan kawontenan).". Ki Ageng Suryomentaram. Buku ini dibuka dengan pengantar oleh Irfan Afifi. . Ki Ageng Suryomentaram, filsuf Jawa abad 19, memiliki konsep yang menarik tentang bagaimana sebaiknya seseorang ketika tengah belajar, dan apa pula yang mestinya dilakukan oleh seorang pengajar. Dalam Buku Langgar halaman 26 termaktub salah satu surat Ki Ageng kepada sahabatnya, Kakang Sumarsono, yang diharapkannya dapat menggantikan dirinya sebagai narasumber untuk memberikan kuliah umum di ini disampaikan Ki Ageng kepada seseorang yang menurutnya sudah layak menjadi pengajar, tentu saja mesti dipahami dengan kacamata dan pemahaman orang yang sudah dewasa dalam hal ajar mengajar. Jadi, tidak semestinya jika surat Ki Ageng ini dimaknai secara harfiah. Apalagi oleh orang yang di dalam merespon segala sesuatu dan peristiwa masih berlandaskan rasa suka atau tidak ini adalah kutipan suratnya secara utuh. Tanpa basa-basi, Ki Ageng langsung menegaskan lima hal yang tidak seyogyanya dilakukan oleh mereka yang sedang “Wong-wong mau aja nganti anggugu menyang guru-guru sejene. Jalaran guru-guru iku ngelmune padha kleru kabeh. Aku wis weruh. Gilo klerune guru-guru mau Ngelmune mesthi sing condong karo pepinginane, nganggo dikon cegah kayata; mangan, turu, cumbana, sapiturute. Utawa banter nglakoni kayata; sabar, mantep, temen, sapiturute. Kuwi guru apa kaya ngono kuwi? Hla, apa patut digugu?”Sebagai pribadi, semua orang hendaknya jangan sampai mengikuti apa dan siapa pun selain bisikan kata hati terdalamnya. Karena niat apa pun selain yang berasal dari kata hati terdalam, meski dengan dalih mengikuti ajaran dari para guru, pasti keliru. Saya dapat pastikan, fatal sekali kesalahan para guru yang ajarannya dibiarkan diikuti oleh orang banyak dengan cara seperti karena ilmu para guru tersebut pasti condong kepada keinginan pribadinya, meskipun melalui pantangan seperti; jangan makan, jangan tidur, jangan bersenang-senang, dan lain sebagainya. Atau memerintahkan laku seperti; sabar, yakin, sunguh-sungguh, dan lain sebagainya. Guru macam apa itu? Memangnya pantas pengajar seperti itu diikuti?Kedua, “Wong-wong mau supaya anggugu karepe dhewe, jalaran sok anggugu kitab, gugu Kanjeng Sultan Agung, Prabu Brawijaya, Jayabaya, utawa layang-layang babad. Lha, rak ya pating jengkelit ta? Uwong jare gugu mrana-mrana.”Setiap orang hendaknya mengikuti apa yang telah dibisikkan oleh hati terdalamnya. Jangan begitu saja mengikuti pengetahuan yang tertulis dalam buku-buku, mengikuti Kanjeng Sultan Agung, Prabu Brawijaya, Jayabaya, atau cerita-cerita rakyat yang disebut babad alias kronik. Akan menjadi tidak karu-karuan bukan? Masa orang mesti mengikuti sesuatu yang tidak sesuai dengan kata hatinya sendiri?Ketiga, “Wong-wong mau aja nganti anggugu pangarep-arepe dhewe. Kayata; awake dhewe nek ngono enthuk kamulyan, utawa anak putune, utawa bangsane. Hla, apa ora pating besasik? Ana wong jare andongakake sapa-sapa, utawa awake dhewe.”Setiap orang hendaknya juga tak menuruti berbagai keinginan pribadinya. Misalnya; kalau aku melakukan begitu, mungkin akan mendapatkan kemuliaan. Jika bukan aku yang mendapatkan kemuliaan, ya mungkin anak cucuku yang akan memperolehnya kelak. Kalau bangsaku tidak melakukan… Ah, apa jadinya jika berbagai keinginan itu dituruti? Masa orang hanya mengharap-harapkan orang lain atau dirinya sendiri?Keempat, “Wong-wong mau aja ngleluri sapa-sapa; tegese tiru-tiru. Kayata; bapa biyung, kaki nini. Utawa tiru-tiru wong sing luwih-luwih. Rak ya salang surup ta, nek wong kok angluluri kuwi hara? Haraya, ana apa ngalura-ngaluri?”Setiap orang hendaknya juga tidak menjadi pembebek dari siapa pun. Artinya, jangan hanya meniru-niru! Misalnya; meniru orang tua, meniru nenek moyang. Atau meniru orang-orang yang dianggap memilki kelebihan. Nah, bisa menjadi salah kaprah bukan? Masa orang mesti membebek kepada orang lain? Masa iya harus menjadi pembebek?Terakhir, “Wong-wong aja nganti memundi, kayata; wong, kitab, kramatan, Borobudur, kaelokan, sapanunggalane. Cekake awake dhewe iki wis becik dhewe. Tegese; wis ora ana barang utawa wong sing diajeni. Hla, apa ora kuwalik cengele, ana wong kok ngajeni mrana-mrana?”Setiap orang hendaknya juga jangan mengkultuskan siapa pun. Misalnya; orang atau kitab yang dianggap suci, berbagai keramat, Borobudur, segala yang dikagumi, dan lain sebagainya. Artinya, tak ada apa dan siapa pun yang pantas dikultuskan. Nah, apakah tidak terbalik tengkuknya, masa ke mana-mana orang mesti mengultuskan sesuatu?Baru kemudian dengan lugas Ki Ageng menulis, “Nek Kakang Sumarsono mangerti ing dhuwur iki, mesthi banjur kaduga mejang. Apa witikna wong-wong mau dipitayakake nyang guru-guru. Ing mangka mejang iku volksopvoeding. Nek ora nganggo wejangan iki, pole mesthi dadi wong gumunan; ming ana wong awas wae gumun, ming ana wong ora tau mangan wae gumun, ming ana wong mandi bae gumun, ming ana wong gawe Borobudur bae gumun, ming ana montor mabur bae gumun, basa awake dhewe ora digumuni.”Kalau Kakang Sumarsono telah memahami intisari yang saya maksudkan di atas, Insya Allah telah memiliki kesiapan untuk menjadi nara sumber. Ya, karena memberikan kuliah itu volksopvoeding alias mendidik masyarakat, maka tiap-tiap orang tidak semestinya diarahkan untuk mengikuti selain kata hati terdalamnya tidak demikian, maka ujung-ujungnya hanya membuat orang untuk mudah terkaget-kaget; ada orang dapat mengetahui sesuatu sebelum terjadi, tercengang; melihat orang yang sepertinya tidak pernah makan, heran; melihat orang yang sepertinya dapat menyembuhkan berbagai penyakit, kagum; melihat orang bisa membangun Borobudur, takjub; melihat pesawat terbang, heran; tapi terhadap keberadaan dirinya sendiri malah tidak pernah dipedulikan keistimewaannya.“Leting dongeng, aku ngarep-arep banget menyang Kakang Sumarsono supaya tumuli angganteni mejang ana Semarang. Perlu banget, lho. Dene nek aneng Ngayogya wis ana sing ngganteni. Aku ngarep-arep diwangsuli lho. Nek Kakang wus kaduga tak pestekake lho, atiku ayem. Seje dina bokmenawa aku bisa ketemu. Nirtiti, Arinta WG Suryomentaram.”Singkat cerita, saya sangat berharap suatu ketika Kakang Sumarsono dapat menggantikan saya untuk memberikan kuliah umum di Semarang. Ini serius, karena kalau di Yogyakarta kan sudah ada yang bisa menggantikan saya. Saya sangat mengharapkan balasan surat ini. Begitu Kakang Sumarsono sudah menyatakan siap—saya mengharapkan kepastiannya—hati saya tenteram. Mudah-mudahan lain hari kita bisa ketemu. Sampai sini dulu, Adikmu Wong Gedhe Suryomentaram.Surat Ki Ageng di atas meskipun dengan diksi yang berbeda, bahkan terkesan sebaliknya, menurut saya sebangun dengan aforisma Syaikh Ibn Athaillah Sakandariy dalam Al-Hikam, “Man abbara min bisaathi ihsaanihi ashammathu isaa’ah. Waman abbara min bisaathi ihsaanillaahi ilaihi lam yashmut idza asaa’a.” Pengajar yang merasa dirinya sebagai orang baik, akan diam—bahkan menutupinya—saat melakukan kesalahan. Sedangkan pembelajar yang sadar akan kebaikan Allah terhadap dirinya, tidak akan pernah diam—setidaknya mengakui dan meminta maaf—ketika telah melakukan kesalahan.Wallaahu a’lam bishshawwab. - Perjalanan singkat dari Yogyakarta ke Surakarta pada awal abad ke-20 itu telah membuka mata hati Pangeran Suryomentaram. Di dalam gerbong kereta api, sang pangeran tertegun kala memandang ke luar, melihat para petani yang sedang bekerja di sawah. Begitu sederhananya mereka, berbeda dengan kehidupan yang dijalaninya di istana selama ini. Sekembalinya di keraton, Suryomentaram menjadi sering gelisah. Beberapa kali ia pergi untuk menenangkan diri. Terkadang berziarah ke gua-gua yang dulu kerap dikunjungi leluhurnya, atau ke pantai selatan. Di tempat-tempat sunyi itulah salah seorang anak kesayangan Sultan Hamengkubuwana VII 1877-1921 ini bermeditasi demi ketenteraman jiwanya yang terus saja suatu hari, sang pangeran sudah tidak tahan lagi. Ia pergi meninggalkan istana dan berjalan sendirian, tanpa mengenakan pakaian yang menunjukkan bahwa ia seorang putra raja, hanya membawa bekal Sang Pangeran Bernama kecil Raden Mas Kudiarmadji, Suryomentaram merupakan anak ke-55 Hamengkubuwana VII. Ia lahir di lingkungan keraton Yogyakarta pada 20 Mei 1892. Ibunya adalah salah satu istri selir raja, yakni Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danureja VI. Pangeran Suryomentaram memutuskan pergi tanpa pamit setelah permintaannya ditolak sang ayah. Ia meminta agar diizinkan menanggalkan gelar pangeran, namun Hamengkubuwana VII tidak menyetujuinya. Setelah Suryomentaram pergi, barulah Raja Yogyakarta itu menyesal. Hamengkubuwana VII kemudian mengutus beberapa orang kepercayaannya untuk mencari di mana keberadaan sang putra kesayangan pada suatu ketika, salah seorang utusan raja melihat sosok yang mirip dengan pangeran yang sedang dicari-cari. Namun, orang itu sangat kumal laiknya rakyat miskin kebanyakan, sedang bersama-sama kuli lainnya menggali sumur di suatu desa kecil di wilayah sebelah barat utusan raja memberanikan bertanya kepada orang itu, menanyakan namanya. Dijawab bahwa ia bernama Natadangsa. Mendengar suara yang ditanya, utusan raja itu semakin yakin bahwa Natadangsa tidak lain adalah Pangeran dengan hormat, Natadangsa dimohon pulang ke istana karena telah membuat ayahanda dan ibundanya khawatir. Lantaran kedoknya terbongkar, Natadangsa terpaksa menurut, dan mengikuti utusan itu kembali ke Kasultanan alias Suryomentaram hidup serabutan selama masa pengembaraan itu. Selain terkadang menjadi kuli, ia juga bekerja apa saja untuk sekadar bertahan hidup. Jualan batik dan buruh tani pernah istana, ia lagi-lagi tidak betah karena merasa tidak cocok dengan kehidupan mewah sebagai anak raja. Cobaan bagi Suryomentaram bertambah setelah sultan menceraikan ibundanya dan membebastugaskan kakeknya, Patih Danureja VI, disusul dengan kematian istrinya. Namun, demi menghormati sang ayah, Suryomentaram sebisa mungkin VII—yang sebenarnya sudah turun takhta sejak 29 Januari 1921—wafat pada 30 Desember 1931. Dituliskan oleh Prof. Dr. dr. Daldiyono 2014 dalam buku Ilmu Slamet, Suryomentaram turut mengusung jenazah sang ayah, namun tidak mau mengenakan pakaian kebesaran pangeran, melainkan memakai baju lusuh, bahkan bertambal-sulam hlm. 18.Dalam perjalanan pulang dari pemakaman, Suryomentaram memisahkan diri dari rombongan dan singgah di sebuah warung. Ia memesan pecel, makan dan duduk lesehan bersama rakyat jelata. Sontak, kelakuan itu membuat para pangeran lainnya merasa malu. Mereka bahkan menyebut Suryomentaram sudah Gelar Ningrat Setelah ayahandanya meninggal dunia, Suryomentaram memohon kepada saudara tirinya yang sudah bertakhta menjadi raja, Hamengkubuwana VIII 1921-1939, agar diizinkan meninggalkan merasa “tidak pernah bertemu orang” selama hidup di lingkungan istana. Orang yang ia maksud adalah rakyat yang sebenarnya, orang-orang yang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga, orang-orang yang hidup sederhana dan apa Hamengkubuwana VIII, permohonan Suryomentaram dikabulkan. Bahkan, pemerintah kolonial Hindia Belanda memberinya uang pensiun lantaran berstatus sebagai pangeran. Namun, uang tersebut ditolak Suryomentaram karena ia merasa tidak pernah bekerja untuk pemerintah pergi, Suryomentaram menjual seluruh harta benda yang dimilikinya. Uang hasil penjualan mobil diberikan kepada sopirnya, sedangkan hasil penjualan kuda diberikan kepada abdi dalem yang selama ini merawat kuda tersebut hlm. 19.Dengan berbekal uang secukupnya, Suryomentaram meninggalkan keraton untuk keduakalinya, barangkali ini untuk selama-lamanya karena ia memang tidak pernah berniat kembali ke istana. Gelar pangeran pun kini benar-benar ditinggalkan, ia mengganti namanya menjadi Ki Ageng berjalan jauh menuju ke utara, dan membeli sebidang tanah di Desa Beringin, Salatiga. Di sana, ia hidup dengan bercocok tanam sebagai petani, bergaul dengan rakyat jelata, menjalani kehidupan sebagai orang mengasingkan diri, Suryomentaram tetap menjalin relasi dengan beberapa pangeran yang memilih menepi seperti dirinya, termasuk Ki Hajar Dewantara, Ki Sutapa Wanabaya, Ki Prana Widagdo, Ki Prawira Wirawa, Ki Suryadirja, Ki Sujatmo, Ki Subono, dan Ki Suryaputra. Mereka membentuk perkumpulan dan menggelar sarasehan rutin setiap malam Selasa tokoh ini punya tugas sesuai spesialisasinya. Ki Hajar, misalnya, seperti dicatat Abdurrachman Surjomihardjo dalam Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern 1986, memperoleh bagian di bidang pengajaran, dengan mendidik anak-anak muda yang ikut dalam sarasehan tersebut. Pangeran dari Kadipaten Pakualaman bernama asli Soewardi Soerjaningrat ini adalah pendiri Perguruan Taman Siswa hlm. 10. Merumuskan Ilmu Bahagia Suryomentaram tertarik mempelajari ilmu jiwa atau psikologi. Ia mencurahkan daya dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan manusia dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan, demikian menurut Adimassana dalam Ki Ageng Suryomentaram tentang Citra Manusia 1986 23.Adimassana menambahkan, pemahaman Suryomentaram tentang manusia seluruhnya bertitik tolak dari pengamatannya terhadap diri sendiri. Ia merasakan, menggagas dan menginginkan sesuatu, menandai adanya gerak kehidupan di dalam batin manusia. Suryomentaram mencoba membuka rahasia kejiwaan manusia yang dilihatnya sebagai sumber yang menentukan perilaku manusia dalam eksperimen tersebut, Suryomentaram menyimpulkan bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari dunia yang melingkupinya. Manusia selalu bergaul dengan lingkungan di sekitarnya dan selalu terkait dengan itu, yang kemudian menunjukkan perilaku manusia tersebut. Alasan itulah yang membuat Suryomentaram sungguh-sungguh mantap keluar dari istana, dari lingkungan keraton yang bermewah-mewahan. Ia ingin bersatu dengan alam dan kehidupan manusia yang sebenar-benarnya sehingga antara dirinya dengan lingkungan yang melingkupinya bisa tercipta keselarasan, baik lahir maupun seperti yang tertulis dalam Puncak Makrifat Jawa Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram 2012 karya Muhaji Fikriono, sangat yakin bahwa untuk memahami manusia yang universal cukup dengan mengamati dan menyadari rasa yang ada pada diri sendiri. Infografik mozaik Ki Ageng Suryomentaram. yang didalami Suryomentaram itu dikenal dengan istilah kawruh jiwa atau kawruh begja ilmu bahagia. Menurut Abdul Kholik & Fathul Himam dalam “Konsep Psikoterapi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram” yang dimuat di Gadjah Mada Journal of Psychology Mei 2015, ia menjadikan metode itu sebagai perangkat analisis olah rasa untuk mengembangkan kualitas hidup dengan landasan introspeksi diri hlm. 122.Meskipun mendalami ilmu kebatinan, Suryomentaram menghindari unsur mistik atau klenik, ia berangkat dari hal-hal yang nyata dan ilmiah. Oleh karena itu, Suryomentaram memilih memakai kata kawruh yang lebih rasional daripada kata ngelmu yang lekat dengan konteks bahagia, bagi Suryomentaram, berasal dari diri manusia itu sendiri. Ada tiga unsur utama yang ada dan kekal dalam diri manusia, yang oleh Suryomentaram disebut sebagai “Zat, Kehendak, dan Aku”. Ketiga unsur ini merupakan asal dari segala sesuatu.“Zat itu ada, tidak merasa apa-apa dan tidak merasa ada. Kehendak itu ada, merasa apa-apa, dan tidak merasa ada. Aku itu ada, tidak merasa apa-apa, dan merasa ada,” demikian rumusan bahagia ala Ki Ageng Suryomentaram, seperti dikutip dari Al-Ikhlash Bersihkan Iman dengan Surah Kemurnian 2008 176 karya Achmad menebarkan apa yang dipelajarinya dengan memberikan ceramah di berbagai tempat. Bahkan, ia pernah diundang Presiden Sukarno ke Istana Merdeka Jakarta pada 1957. Kepada Suryomentaram yang menghadap dengan pakaian sederhana, Bung Karno meminta nasihat dalam mengelola wafat pada 18 Maret 1962, tepat hari ini 57 tahun lalu, Suryomentaram telah menghasilkan sejumlah karya yang ditulis dalam bahasa Jawa, seperti Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Ilmu Jiwa, Aku Iki Wong Apa, dan lainnya. Ajaran kebahagiaan Suryomentaram hingga kini terus dipelajari dan diterapkan oleh komunitas budaya yang tersebar di sejumlah tempat di Jawa.==========Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 24 Maret 2018 dengan judul "Hidup Bahagia ala Ki Ageng Suryomentaram". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik. - Sosial Budaya Penulis Iswara N RadityaEditor Ivan Aulia Ahsan Answerkamatayan,pagmamahal sa bayan,kalayaan,pagmamalaki,ipinaglalaban,pagsugal sa sariling buhay,pagmamahal sa bayang pinagmulan

kata bijak ki ageng suryomentaram